BAB 5
Berkomunikasi
dengan Simbol-simbol
Didalam
kehidupan manusia, sangatlah penuh dengan simbol-simbol. Menurut Mulyana dan
Rakhmat, Fungsi pembentukan simbol ini adalah satu diantara kegiatan-kegiatan
dasar manusia, seperti makan, melihat dan bergerak. Dan ini merupakan proses
fundamental dari pikiran dan berlangsung setiap hari. Selain itu, simbol-simbol
lainnya dapat kita lihat dari cara berbicara, cara berpakaian, ekspresi wajah, body language dan lain-lain. Simbol
merupakan objek atau peristiwa apa pun yang menunjuk pada sesuatu (James P
Spradley). Simbol adalah suatu istilah dalam logika, matematika, semantic,
semiotic dan epistemology (Welek & Warren, 1995:239).
Hal
yang sama dalam bermacam pengertian diatas adalah sifat simbol untuk
mewakili sesuatu yang lain.
Apa itu Simbol ?
Secara etimologis, simbol berasal
dari kata Yunani “sym-ballein” yang
berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu
ide. Menurut Herusatoto, simbol merupakan tanda atau ciri yang memberitahukan
suatu hal kepada seseorang. Biasanya simbol terjadi berdasarkan metonimi, yakni
nama untuk benda lain yang berasoisasi atau yang menjadi atributnya. Sedangkan
Metafora, yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain
berdasarkan kias atau persamaan.
“Si
tua”, nama pengganti untuk seorang pria yang mempunyai umur yang banyak
(Metonimi).
“Buah
tangan” dan “Buah bibir”, merupakan ungkapan lain untuk suatu objek berdasarkan
kias kata buah yang berarti hasil
(Metafora).
Simbol
melibatkan tiga unsur, simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih dan korelasi
antara keduanya. Ketiga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbolik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa simbol atau lambing
adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya yang
menyatakan suatu hal atau mengandung makna tertentu.
Sesuatu
dapat dikatakan sebuah simbolik jika simbol merupakan kata atau suatu yang
dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan 1) penafsiran pemakai, 2) kaidah
pemakaian sesuai dnegan jenis wacana, dan 3) kreasi pemberian sesuai dengan
intensi pemakainya.
Arthur
Asa Berger mengklasifikasikan simbol-simbol menjadi, 1)Konfensional, 2)Aksidental,
3)Universal. Konvensional merupakan kata yang telah kita pelajari untuk
menyebutkan suatu hal. Aksidental, sifatnya lebih individu sedangkan Universal
merupakan simbol yang telah mendarah daging dan telah berakar dari pengalaman
semua orang.
Dalam
wawasan Peirce, tanda(sign) terdiri
dari ikon(icon), indeks (index) dan simbol (symbols). Ikon adalah suatu benda fisik (dua tau tiga dimensi)
yang menyerupai apa yang direpresentasikannya yang ditandai dengan
kemiripannya. Indeks adalah tanda yang hadir secara asosiatif akibat
terdapatnya hubungan ciri acuan yang sifatnya tetap. Contonya adalah gula dan semut.
Kedua kata ini memiliki keterkaitan namun keduanya memiliki pengertian yang
berbeda, gula merupakan suatu benda yang mempunyai rasa manis dan semut
merupakan hewan kecil yang hidup didalam suatu “inang” (tanah, kayu maupun
benda lainnya). Sedangkan simbol mempunyai arti yang lebih luas, yang melihat
pun dituntut untuk memahami lebih dalam mengenai arti yang sebenarnya. Namun,
banyaknya pikiran yang muncul dalam proses pemahaman inilah, yang akhirnya
menimbulkan banyak persepsi terhadap suatu simbol.
Simbolisasi: Kebutuhan Pokok
Manusia
Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti
dikatakan Susanne K. Langer, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang
(Mulyana, 2000:83). Salah satu sifat dasar manusia, menurut Wieman dan Walter,
adalah kemampuan menggunakan simbol (Johannesen, 1996:46). Kemampuan manusia
menciptakan simbol membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang
tinggi dalam berkomunikasi, mulai dari simbol-simbol yang sederhana sampai
simbol yang rumit seperti signal-signal.
Kemampuan
tersebut kini merupakan keharusan, untuk mengubah hasil mentah menjadi hasil
yang dapat diterima manusia. Dari simbol menjadi simbol lainnya yang berupa
penyampai (tujuan, konsep, nilai dan cita).
Simbol Status dan Gaya Hidup
Status pada dasarnya mengarah ada posisi yang
dimiliki seseorang di dalam sejumlah kelompok atau organisasi dan prestise
melekat pada posisi tersebut. Status berarti berhubungan dengan peran seseorang
(Berger, 2000a:116-117). Status merupakan kekuatan yang besar di dalam
masyarakat yang digunakan untuk mengendalikan orang dengan cara yang halus.
Status merupakan simbol dari kesuksesan hidup.
Menurut
Nas dan v.d. Sande, gaya hidup lebih luas dari konsep subkultur karena
pendeskripsiannya juga mencakup pemilik kultur dominan dan lebih dinamis dari
konsep subkultur karena dideskripsikan dari sudut pandang individu. Gaya hidup
menunjuk kepada frame of reference
(kerangka acuan) yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku.
Dalam
merumuskan gaya hidup, Nas dan v.d. Sande menggunakan pendekatan analitis dan
sintesis. Pendekatan pertama dibagi menjadi lima dimensi. Pertama, Morfologi. Aspek lingkungan dan
geografinya. Kedua, hubungan sosial. Menggali
pola hubungan sosial individu. Ketiga, Dominan.
Dalam dimensi ini kita dapat melihat aktivitas apa yang lebih ditekankan oleh
individu. Keempat, Makna. Dimensi ini
mempelajari bagaimana individu memberi makna terhadap kegiatan-kegiatannya.
Kelima, style. Dimensi ini
menampilkan aspek lahiriah dari gaya hidup.
Gaya
hidup sering dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi dan menunjukkan citra
seseorang. Gaya hidup ini akan menentukan mobil apa yang akan digunakan, arloji
apa yang dikenakan, sepatu merk apa yang dibeli, olahraga apa yang akan
ditekuni dan lain-lain.
Kini
masyarakat bukanlah membeli barang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya,
namun mereka membeli merk yang dipasarkan. Untuk memperoleh prestige ditengah masyarakat luas.
Simbol-simbol Budaya dan Religi
Menurut
Geertz, dalam Susanto, 1992:57). Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna
yang tertuang dalam simbol-simbol yang
diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep
yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk simbolik melalui mana manusia
berkomunikasi, mengekalkan dan mengembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini
dan bersikap terhadap kehidupan ini.
“Semua
makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol”, menurut James P.
Spradley.
Dalam
setiap kegiatan agama pun penuh dengan simbol, ketika kita masuk dalam gereja
maka disana terdapat “Salib”. Masjid dengan tulisan “ALLAH” dan “Muhammad”
disisi-sisi mimbar imam. Kepala botak dengan pendeta. Dan simbol-simbol
lainnya.
Interaksionisme Simbolik
Interaksi
selalu berorientasi ke masa depan, kepada apa yang akan dilakukan oleh orang
lain, dan satu-satunya cara bagi seseorang untuk menduga masa depan ialah
dengan cara saling mengambil peranan ini. Esensi interaksi simbolik adalah
suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran
simbol yang diberi makna (Mulyana, 2001:68).
btw bab 1 - 4 nya ada gk ya ? :D
BalasHapus