Rabu, 01 Agustus 2012

Jurnalistik Sastra

“Dedi, Kabul, Susana, bawa BPKB-nya trus dibuka biar saya liat namanya”. Suara seorang penjaga loket 1, tempat pengambilan tanda terima di Samsat Kota Bekasi. Beberapa orang yang merasa dipanggil berlari kecil menghampiri loket 1. 

“Kapan giliran gw nich”. Sebuah pertanyaan terlintas dalam pikiranku. 


Pada 23 April 2011, aku dan ayahku menyempatkan diri memenuhi salah satu kewajiban sebagai warga Indonesia, membayar pajak. Ayahku bernama Nur amri, 50 tahun. Berperawakan tinggi, berambut putih dan sedikit buncit. Giginya pun sudah banyak yang hilang dimakan usia. Namun dia adalah pria yang tertampan dimata saya, anaknya. Beliau lahir di desa kecil bernama Karangjati, tepatnya di kaki Gunung Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Beberapa tahun yang lalu, desa itu masih asri. Namun sekarang, sudah banyak polusi. Ya, mungkin sebagai salah satu akibat dari modernisasi.

Ketika sampai di tujuan, langkah kami tertuju pada sebuah loket yang bertuliskan ‘FORMULIR’.



“Mau apa mbak?”, tanya seorang dibalik kaca loket.

“Minta Formulir mas”. Masih nanya aja nich masnya, padahal udah jelas loket tulisannya Formulir. Datang kesitu, ya mau minta formulir lah. Pernyataan itu tertahan dalam pikiran saya.

2 carik kertas berpindah ketangan saya. Dengan cepat kolom-kolom kosong itu, terisi. Setelah menyelesaikan mengisi formulir, kami menuju lantai 2.

Ish, penuhnya... Mulai dari mana nich ngantrinya?. hal itu yang pertama muncul dalam pikiranku, melihat orang-orang berjubel didepan loket.

Nggak pada bisa ngantri apa nich orang! Berjejer didepan loket, kalo orang mau nyerahin berkas jadi ribet nich. Lagi-lagi umpatan karena kesal melihat orang-orang yang tidak tertib mengalir mulus dalam pikiranku.

Kemudian, ayah mengajakku melewati barisan orang-orang itu. Dengan sedikit sikut-sikutan akhirnya aku sampai dimuka loket 1. Aku disambut oleh seorang satpam yang sibuk menstreples berkas-berkas. “STNK asli sama KTP mbak”, ucapnya padaku, dengan cepat aku mengambil yang dimintanya dari tas.

Tiba-tiba seorang wanita separuh baya, menyerobot masuk dan mendorong-dorong badanku. Wanita itu berbadan pendek dan sedikit gemuk, berbaju dan alas kaki merah. Bukan hanya itu saja yang berwarna merah, lipstik dan gelang yang dipakainya juga berwarna merah. Mencerminkan semangatnya dalam mendorong-dorong badanku.

Santai aja bu, semangat amat. W nich korbannya!. Lagi-lagi sebuah umpatan.

Hampir setengah jam aku menunggu panggilan, tepat pukul 09.28 namaku berkumandang. Aku segera menghampiri sumber suara, sambil memperlihatkan BPKB motorku.

“Siapa namanya, Ayu Tirta Buana”. Ucap pria dibalik loket 1. Ia menyobek secarik kertas sebagai tanda terima.

‘Hindari Calo’,
‘Jika pelayanan kami baik beritahu orang lain, jika pelayanan kami kurang baik beritahu kami’.

Sebuah tulisan besar berlatar biru, menghiasi dinding Samsat Kota Bekasi lantai 2.

Aku merasa persediaan oksigen, diruangan itu hampir habis. Dua kipas angin yang menempel didinding, tidak terasa sama sekali kehadirannya.

Loket 1, 2, dan 3. Saling beradu dalam memanggil nama. Orang-orang jadi tidak jelas dalam mendengar jadi mereka maju ke depan loket. Aku yang sebelumnya mengumpat orang-orang yang berdiri dimuka loket, sekarang malah ikut bergabung disana. Akhirnya aku tahu penyebab orang-orang ini tidak bisa mengantri dengan tertib.

“Ibu Ayu Tirta Buana”. Namaku dipanggil untuk kedua kalinya, kuhampiri loket 2 tempat yang bertuliskan ‘Pembayaran(KASIR)’. Kuserahkan secarik kertas tanda bukti itu, pada seorang ibu penjaga loket 2. Wanita itu menggunakan kacamata, tepat pada ujung hidungnya. Berambut sepundak berbelah tengah tengah.

“dua ratus tujuh puluh lima ribu”. Lah, kata Ayah Cuma 210.000. Pikirku, sedikit bingung.

Ku keluarkan uang pecahan 100.000, 1 lembar; 50.000, 3 lembar; dan 20.000, 2 lembar. Ibu itu langsung mengambil uang yang aku sodorkan dan mengembalikannya 25.000 padaku, berikut tanda bukti pembayaran.

Selesai dari loket 2, aku menghampiri ayahku. Kuberitahu beliau bahwa biaya yang dibayarkan Rp275.000, bukan Rp210.000.

“Hah!! Kok lebih mahal dari punya Enggar!” ucapnya keget.
“Nggak ngerti”, ucapku sambil mengangkat bahu.

Enggar, 23 tahun. Ia adalah Anak pertama dari pasangan Nur Amri dan Sartini. Berperawakan kurus seperti pemakai narkotika, mungkin lebih sering dikenal dengan istilah ‘jangkis’. Berkulit sawo matang, dan berambut tak beraturan.

Sartini, ibu rumah tangga sekaligus bendahara RT 003 Bintara 14 Bekasi. Wanita kelahiran 48 tahun yang lalu ini, mempunyai salah satu keahlian yang sangat membuat saya iri yaitu memasak. Apapun bahan makanan yang beliau olah, selalu menghasilkan cita rasa yang mampu menggoyang lidah. Salah satu favorit saya adalah, ‘Kulit melinjo pedas’. Melinjo bagian kulit diiris-iris dan dimasak dengan ikan teri dan cabai merah. Emm… rasanya mampu membuat nafsu makan aku naik.

Melinjo (Gnetum gnemon Linn) atau dalam bahasa sunda disebut Tangkil, adalah suatu spesies tanaman berbiji terbuka (Gymnospermae) berbentuk pohon yang berasal dari Asia tropik, melanesia, dan Pasifik Barat. Melinjo dikenal pula dengan nama belinjo, mlinjo (bahasa Jawa), tangkil (bahasa Sunda) atau bago (bahasa Melayu dan bahasa Tagalog), Khalet (Bahasa Kamboja). Penelitian yang sudah dilakukan pada melinjo dan menujukkan bahwa melinjo menghasilkan senyawa antioksidan. Di Jepang dilakukan penelitian dan dilaporkan bahwa melinjo termasuk tumbuhan purba yang secara evolusi dekat dengan tanaman Ginkgo biloba yang ada di Jepang. Ginkgo adalah spesies pohon hidup tertua, yang telah tumbuh selama 150-200 juta tahun dan dipercaya sebagai tonik otak karena memperkuat daya ingat. Daun Ginkgo juga punya khasiat, sebagai antioksidan kuat dan berperan penting dalam oksidasi radikal bebas penyebab penuaan dini dan pikun.

Setelah melaporkan jumlah uang yang harus dibayarkan, aku langsung kembali antri. Sekarang antrianku berpindah ke loket 3, tempat pengambilan STNK. Dengan sabarnya aku berdiri didepan orang-orang yang kebagian tempat duduk untuk menunggu.

Diudara yang cukup panas ditambah kipas angin yang tak berfungsi optimal, aku bermandikan keringat. Untungnya kali ini aku tidak harus menunggu lama, namaku di sebut dan hal itu menjadi angin segar bagiku. Aku bisa meninggalkan tempat ini lebih cepat, dan maksimal akan kembali lagi 1 tahun yang akan datang. Ku hampiri penjaga loketnya dan kusodorkan tanda terima yang kuperoleh diawal tadi.

Kuambil STNK yang telah ditaruh oleh penjaga loket itu, dan pergi menghampiri ayahku yang tengah duduk manis diantara para ‘wajib pajak’ yang lain.

Beliau memandangku dengan raut muka heran.

“Coba liat, masa mahal banget!”, ucapnya padaku. Ku perlihatkan STNK yang baru.
“Nah, ini Rp32.000 buat apa??” tanyanya padaku.
“Ya nggak tau lah pak”. Jawabku sedikit kesal. Manaku tau uang itu untuk pembayaran apa!. Lagi-lagi pikiranku menjawab.

Dengan rasa penasaran, ayah bertanya pada seorang pria di sampingnya. Pria ini menggunakan baju garis-garis dengan kumis tipis menghiasi wajahnya.

“Bayaran yang ini buat apa ya??” Tanya ayah sambil menunjuk nominal yang ada di STNK.
“Itu buat kalo telat pak. Ini masa berlakunya sampe tanggal berapa ?” Tanya pria itu.
“Sampai tanggal 25 April!” ayah melihat bagian bawah STNK.
“Lah ini sampai tanggal 20 April”. Ucapan polos terlontar dari bibirnya.
“Nah, bener pak. Ini udah telat jadi bayar sanksi” pria berbaju garis-garis menjelaskan.
“Owh, tanggal 20. Berarti saya salah liat…….”

Belajar Jurnalistik Sastra.
Ayu Tirta Buana
llmu Komunikasi 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar